Langsung ke konten utama

Ulasan Buku “Planet Omar, Accidental Trouble Magnet” by Zanib Mian

  https://www.tulisanshinta.site/2023/10/ulasan-buku-planet-omar-accidental.html “…, but my dad said that Allah knows all the languages in the universe, so we can talk to him whenever we want to.” (page 178). Dikisahkan seorang anak laki-laki berusia 9 tahun, bernama Omar. Ia hidup bersama keluarganya yang terdiri dari ayah, ibu, adik laki-lakinya yang bernama Esa berusia 3 tahun, kakak perempuan bernama Maryam berusia 13 tahun. Keluarga Omar berasal dari Pakistan, dan mereka menetap di Inggris. Kedua orang tua Omar bekerja sebagai ilmuwan. Permasalahan muncul ketika sang ibu mendapatkan pekerjaan baru di kota lain. Omar sekeluarga harus pindah tempat tinggal. Hal ini yang membuat Omar gelisah sebagai anak laki-laki yang mulai remaja. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan rumah, sekolah barunya, dan tentu saja teman-teman barunya. Apakah Omar dan keluarganya berhasil beradaptasi dengan lingkungan rumah barunya? Apakah Omar memiliki teman di sekolah barunya? Bagaimana Omar menghadapi

Sebel 100 Hari

SEBEL 100 HARI

Sore hari, pukul empat. Keluar kamar mandi dengan memakai handuk kuning dililit di tubuhnya. Rambut di jepit keatas hingga ujungnya tidak mengenai bahu. Setelah menanggalkan handuk dan meletakkan diatas tempat tidur , berjalan ke arah lemari pakaian. Dibuka, diamati sambil bertolak pinggang, memilih pakaian yang pantas digunakan ke acara yang telah direncanakan itu.
            Pilihan jatuh ke baju bercorak garis-garis horizontal kuning – putih, dengan leher model sabrina, dan rok selutut yang berwarna senada. Diamatinya di depan kaca sambil memiringkan kepala ke kiri dan kanan, diputar – putar badan yang bagian depannya telah ditutupi baju itu 90 derajat ke kiri dan kekanan, kemudian kembali menatap lurus kedepan kaca. Berdiri sedetik, dua detik, tiga,….. dihempaskannya baju itu ke atas tempat tidur menemani handuknya yang masih agak basah itu.
            Kembali ke awal tindakan tadi. Berdiri di depan lemari pakaian sambil bertolak pinggang. Kali ini dengan memiringkan kepala ke kanan dan menumpu seluruh badannya ke kaki kanan. Mulut di manyunkan ke depan dengan mata melihat ke kiri dan ke kanan mengamati koleksi baju-bajunya. Untuk lemari ukuran itu koleksi bajunya bisa dibilang banyak namun kurang variatif. Sambil melengos Nia mengambil baju atasan kemeja berwarna kuning muda dengan renda di sisi kiri kanan kancing depannya, serta celana ¾ warna  Khaki gelap.
            Setelah diyakininya akan memakai baju itu, Nia bergegas mangambil tas perlengkapan dandannya dan duduk di depan kaca. Wajah Nia bisa di bilang biasa saja namun ia tahu bagaimana membuat dirinya tampil menarik. Poles sana, poles sini, dan sentuhan akhirnya adalah diberikan warna caramel muda pada bibirnya. Rambut hitam lurus sebahu di sisir dan di berinya jepit senada dengan baju di sisi kanan kiri atas kepalanya.  Dipastikannya sekali lagi penampilan Nia di depan kaca. Sambil tersenyum dan mengangguk, Nia membayangkan suasana yang akan dia nikmati sore itu bersama teman-temannya.
            Sesegera mungkin Nia keluar dari kamarnya dengan tidak lupa membawa perlengkapan pribadinya di dalam sebuah tas kecil dengan tali yang di selempangkannya di badannya. Tinggal alas kaki pelengkap penampilannya yang belum digunakan. Keluar dari kamar, Nia menuju rak sepatu. Ini bukan rak khusus sepatu Nia, melainkan rak sepatu umum. Ada sandal pergi ibunya, sepatu kerja hitam ayahnya, sepatu olah raga Toni dan Dito adiknya yang masih SD, juga sepatu kets butut warna biru kesayangan abangnya Andi. Disamping itu ada juga alas kaki – alas kaki lain yang sudah berdebu karena jarang digunakan.
            Nia mengambil sandal cantik berwarna senada dengan celananya. Nia sangat menyukai sandal itu karena sandal itu merupakan oleh-oleh dari seseorang yang dikagumi Nia dan sangat cocok di kakinya. Sepatu-sepatu dan sandal Nia yang lain tidak terlalu unik. Hanya ada dua pasang sepatu; sepatu untuk olah raga dan sepatu pantovel. Kemudian sepasang sandal berwarna putih yang selalu dipakai Nia jika  pergi keluar bersama teman-temannya di sore hari. Itu pun tampak sudah lama sekali dipakai, warnanya tidak seputih baru lagi. Jadi tidak heran Nia senangnya bukan main mendapat sandal baru, dari seseorang lagi.
            Jalan-jalan sore ini sudah direncanakan Nia dua minggu sebelumnya. Dia akan menghabiskan sore ini dengan seseorang yang telah memberinya sandal tersebut. Tapi Nia melupakan satu hal. Dia belum minta izin sama ayah ibunya. Untuk hal yang satu ini Nia memang sengaja melakukannya di detik-detik terakhir. Alasannya supaya tidak banyak pertanyaan katanya. Nia ingat betapa dulu dia di interogasi habis –habisan oleh ayahnya perihal dia mau pergi sama teman-temanya ke puncak setelah sekolah. Satu minggu dari dia minta Izin sampai hari H keberangkatannya. Padahal ayah ibu Nia sudah sangat kenal dengan teman-teman Nia. Sampai Mita, sahabat Nia dari SD, meminta izin pada ayahnya Nia baru Nia di izinkan pergi.
            Kali ini Nia pergi  tidak dengan Mita atau teman-temannya yang lain. Diizinkan tidak ya ? Ahh… Nia kemudian menhempiskan pikiran itu kemudian bergegas memakai sandal barunya dan mencari ibu ke ruang TV. Untungnya ayah belum pulang kerja. Bisa berabe kalau ketahuan pergi pas ayah pulang. Ajang interogasi bisa dimulai dan berlarut-larut.
            Nia menemukan ibunya sedang menonton acara gosip-gosip di TV. Itu memang acara favorit ibu. Dari jam 3 sampai jam 5 sore ibu sudah memonopoli TV yang colournya hanya biru dan kuning semua. Sambil memegang remote supaya tidak diganti-ganti oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, contohnya kedua adikku itu.
            Sesudah diyakini ibunya sedang asik menonton, Nia mengambil majalah ibunya dan membolak-balikkan halamannya di ruang tamu. Nia menunggu orang yang menghadiahi sandal. Sepuluh menit kemudian terdengar suara mobilnya. Nia sudah hapal suara mobil yang digunakan orang – orang. Jarak 3 meter dari rumahnya, Nia sudah tahu mobil siapa yang akan datang; ayahnyakah, mobil antar jemput adik-adiknya kah, bajaj yang mengantar abangnya kah, termasuk mobil si Dia ini. Semakin suara itu mendekat, semakin berdebar pula jantung Nia. Nia selalu merasakan getaran jantungnya ketika sesuatu dari orang itu muncul. Entah suaranya yang di telepon atau ya suara mobil yang digunakannya ini.
            Sebetulnya ayah ibu Nia sudah sangat kenal dengan sosok pria yang dinantikan Nia ini. Namun karena dia pria, ayahnya tetap saja agak ribet kalau berhubungan dengan Nia. Tidak saja dengan orang ini, namun dengan semua laki-laki teman sekolahnya juga begitu. Sedangkan untuk orang seperti Nia teman laki-lakinya banyak sekali, jadi bayangkan saja ribetnya Nia dengan Ayahnya tersebut.
            Mobil toyota corola tahun ’79 warna merah marun, parkir di depan rumah Nia. Inilah saat yang paling mendebarkan yang ditunggu-tunggu Nia. Sosok pria idamannya turun dari mobilnya, kemudian menghadap ke pintu mobil untuk menguncinya. Sebetulnya tidak perlu dikunci, toh tidak ada yang melirik mobilnya. Mobilnya tidak mulus-mulus amat. Namun pengemudinya sangat dinantikan Nia hingga tampak semua yang digunakan orang itu sangatlah mulus baginya.
            Rambut pendek hitam ikal, kacamata bening menghias matanya yang bundar, hidung mancung, bibir tipis warna merah muda tanda tidak pernah merokok, ukuran badan sangat proporsional dengan tingginya yang mencapai 1,79 m itu. Dia memakai kaos berkerah warna maroon di masukkan ke celana jeans gelapnya. Sepatu sandal hitam sebagai alas kakinya, berjalan sambil tersenyum kearah Nia yang telah siap membukakan pintu baginya. “ He Nia, pa kabar ? Long time no see huh!” ucapnya seraya menghampiri Nia dan mengecup keningnya. Nia pun membiarkan Michael berperilaku seperti itu, sambil membatin “ mudah-mudahan emak gue gak ngeliat, he…he..he.. enaaak…enaak….”.
            Nia mempersilahkan masuk dan bergegas ke belakang menyiapkan minuman sirup untuk disuguhkan ke Michael. Michael seusia dengan Andi. Dia pernah menjadi kakak kelas Nia ketika di SMP, namun ia mengambil kuliah di Bali. Alasannya mencari hidup mandiri tanpa satupun orang yang dia kenal di tempat itu. Sejak masuk SMP Nia sudah mengagumi kakak kelasnya yang satu ini. Bagaimana tidak ? Dari segi fisik dambaan setiap wanita banget, suka main basket dan menang di beberapa kejuaraan yang diadakan tingkat SMP dulu. Selain itu dia juga cerdas, berwibawa, dan mempunyai kharisma. Pokoke Te O Pe deh!
            Cuma yang Nia bingungkan hingga sekarang ini adalah kenapa Michael melirik dirinya yang kalau dibanding dengan wanita lain tidak menyolok amat. Prestasi akademis biasa aja, kadang malah sering anjlok. Bukan sport freaks seperti kebanyakan wanita seusianya; basketlah, cheerleader lah, dance, volley. Nia juga termasuk cewek yang tidak terlalu suka pesta-pesta hingga malam, atupun keluyuran tidak tahu juntrungannya. Namun di balik kebingungannya itu, Nia tersenyum bangga telah berhasil menakhlukkan pria pujaan bangsa.
               Disuguhkannya gelas berisi sirup cocopandan dingin dan diletakkan di atas meja di depan Michael, kemudian Nia duduk di kursi sofa sebelahnya. Michael mengambil gelas tersebut kemudian mendekatkannya kebibirnya dan ditegaknya sirup itu berkali-kali hingga tinggal setengah gelas dan diletakkannya kembali ke atas meja. “ Sorry nih, haus. Panas bener Jakarta, AC gue juga lagi panas tuh, kayaknya freonnya habis deh” ucapnya sambil menghapus sisa air di mulutnya. Kasihan deh luh, batin Nia sambil tersenyum.
            “ Kita mau kemana hari ini ? Jadi nontonnya?”
            “ Ya … jadilah, tapi gue belum laporan ama nyokap. Gue rasa sih mendingan ASAP, supaya gak ketahuan bokap gue, ntar rese lagi. Udah mau berger sekarang?”
            “ Boleh, terserah aja”
            “ Ya udah, ntar dulu ye gue bilang dulu ama emak gue,” jawab Nia yang kemudian berjalan mendekati ibunya yang masih asik menonton TV. “ Bu, aku mau pergi dulu ya. Jalan- jalan sama Michael, yah ? daaah…assalamu’alaikum!” Segera Nia memakai sepatu dan menyandang tasnya, kemudian berjalan cepat mengarah ke ruang tamu, tempat Michael menunggu.
            Michael telah berdiri menghadap ke ruang TV ketika Nia mendekati dirinya. “ Tante saya pergi jalan-jalan dulu bawa Nia tante, permisi, “ sahutnya pada Ibu Nia yang masih terbengong-bengong melihat anaknya pergi, dan langsung tersenyum mengangguk pada Michael seraya mengijinkan kepergian anaknya bersama pria tersebut.
            Masuk ke mobil dan duduk di kursi depan menemani Michael yang akan mengemudi. Dilihatnya tape yang berfungsi sebagai pemanis mobil, namun radio masih berfungsi sebagaimana fungsinya. Dirabanya jok mobil hitam semi kulit yang didudukinya oleh tangannya yang putih. Terasa angin yang hampir dirasakan panas di lehernya membuat Nia tersenyum geli sambil memandangi Michael. “ He…he..he… gak usah pake AC dulu ye, buka kaca aja ,OK?”  Michael menyeringai ketika diamati oleh Nia sambil mematikan ACnya.
            Beberapa detik kemudian mereka melaju meninggalkan rumah Nia. Menurut  Nia, mau mobil butut kek, radio tape sebagai pajangan kek, ACnya angin cepoi-cepoi kek, yang penting gue bisa berduaan ama die, he…he…he… Diperjalanan mereka mendengarkan radio favorit mereka. Lagu Sunday Mornin’ dari Maroon 5 dikumandangkan. Berdua mereka mengikuti lirik lagu tersebut. Lima blok telah dilewati, tiba-tiba terdengar suara dari mobil, DUAR BUMM BUMM BUMM , dan asap putih mengepul keluar dari kap mesinnya.
Nia dan Michael saling memandang kebingungan. Michael langsung keluar mobil dan membuka kapnya. Asap putih makin banyak yang keluar. Beberapa saat kemudian wajah michael muncul dari balik kap mesin yang terbuka, di tengah kepulnya asap putih dengan wajah menyeringai pada Nia. “ Sorry Ni, kayaknya gue lupa kasih minum mobil gue, jadi kepanasan nih. Mesti nunggu dingin dulu baru bisa di kasih air. Sorry banget nih. Elo keluar aja dulu ye, panas didalem ntar berkuah lagi,” kata Michael bergurau salah tingkah. “Dari tadi mulai berangkat juga udah berkuah,” batin Nia tersenyum geli.
Hari sudah mulai magrib. Awan mulai gelap, banyak mobil berjalan kearah rumahnya masing-masing. Nia mengamati Michael yang sedari tadi mengibas-ngibaskan tangannya pada mesin dengan maksud agar cepat dingin. Michael sesekali menyeka keringatnya dengan saputangan yang selalu di bawa pada setiap kesempatan. Tak berapa lama wajah michael mulai tampak lega. “ Kayaknya udah bisa diisi air nih, ntar ya gue ambil airnya di bagasi.” Bergegas pria itu menuju bagasi dan membukanya. Setelah menutup kembali, Michael telah membawa sebotol air. Ia mulai mengisi kaburatornya pelan-pelan. Setelah terisi cukup, ia menutup kapnya dan mengacungkan ibujari tangan kanannya ke atas pada Nia menandakan bahwa mobilnya sudah layak jalan lagi.
Nia yang sedari tadi menunggu di sisi mobil tersenyum dan bernafas lega. Ia masuk ke mobil mengikuti apa yang dilakukan pria tersebut. Setelah duduk kemudian mengucapkan Basmallah, Michael menyalakan mobilnya. Deruung drung duuuuungngngngng….. artinya mobil sudah siap lepas landas. Wajah Michael sumeringah mendengar suara mobil kesayangannya dan mobil pun dijalankan.
Lima belas menit perjalanan terdengar dari radio suara penyiar favorit mereka. Kemudian ketika intro dari lagu So What Gitu Loh-nya Saykoji mulai dikumandangkan, tiba-tiba terdengar suara DUAR…Bret..Bret..Bret..mobil berjalan seperti dijalan yang bergelombang. Dengan tangkas Michael meminggirkan mobilnya ke sebelah Kiri jalan. Setelah berhenti parkir dengan baik, Michael keluar mobil memeriksa ban di sebelah kiri. Tak lama Nia mendapati Michael mnggeleng-gelengkan kepalanya dan menggaruk sebentar, kemudian menunduk mendekati kaca pintu Nia dengan wajah penuh penyesalan.
“ Sorry banget nih Ni. Ban mobil gue pecah. Tuh lihat tuh, yang belakang. Ban serep gue juga lagi bocor, gue mesti cari tukang ban nih. Tukang ban yang terdekat mana ya ?” katanya sambil clingak-clinguk ke kiri dan kekanan. Nia pun ikut membantu melihat kekiri dan kekanan mencari tukang ban yang buka. Namun, tampaknya tak ada satupun tukang ban disekitar situ. Lalu Nia ingat disekitar warung yang berjarak dua blok dari tempat mereka parkir ada tukang ban. Nia pun merekomendasikan tempat tersebut. 
“ Tapi itu kan agak jauh, elo gak pa-pa nunggu disini sendirian? Gue jalan kesana dulu. Gue lari deh biar elu gak lama, ok?
“ Elu mau lari sambil bawa ban? Yang beneran aje? Udahlah gak pa-pa. Gih sana buruan, gue tungguin deh, tapi usahain jangan dilama-lamain ye. Manyun nih gue,” sahut Nia sambil pura-pura disungutin. “ O K boss,” jawab Michael sambil tersenyum.
Dengan tangkas Michael mencopot ban mobilnya dan setengah berlari mebawa ban tersebut ke tukang ban terdekat. Nia menunggu Michael di dalam mobil. Kacanya di buka karena AC tidak nyala. Hanya semilir suara dari radio yang didengarnya dari tadi yang menemaninya. Suara Adzan mulai bergema. Nia mengamati langit, orang-orang yang bergegas pulang dengan mobilnya ataupun motor, sedangkan dia terpuruk disini sendirian di dalam mobil butut, ditemani radio kecil. Nia membatin sambil tersenyum sendiri.
Ditunggu-tunggu sepuluh menit, lima belas menit, hampir setengah jam Michael belum kembali. Wah… jangan-jangan gue ditinggal sendirian nih dengan mobil butut ini, batin nia mulai berburuk sangka. Udah nih mobil juga gak bakalan laku lagi dijual, bakal apaan juga buat gue.
Sudah hampir jam tujuh lewat Michael belum terlihat batang hidungnya. Beberapa saat kemudian tampak oleh Nia sosok pria jangkung membawa ban dengan setengah berlari, terengah-engah menuju Nia. Nia sangat senang bukan main. Ditinggal malam-malam sendirian meskipun masih didaerah rumahnya bukan hal yang bisa dijadikan hobi untuk Nia. Begitu sampai di dekat Nia, Michael berhenti untuk menarik napas, terengah-engah, kemudian terduduk di samping ban yang dipegangnya. Keringat mengalir di kening dan lehernya. Bajunya telah basah oleh keringat, namun Michael tetap tersenyum pada Nia dan mentertawakan kebodohannya sendiri. “ Sorry, kelamaan ya. Ngantri, kayaknya banyak nih korban yang kena paku di daerah sini jadi lama deh. Kamu gak pa-pa kan ?” Nia menggelengkan kepala sambil tersenyum kegelian melihat keadaan Michael saat ini. 
Hari makin gelap seraya Michael berusaha membenarkan ban mobil pada posisinya. Setelah selesai dengan penuh kerja keras, Michael mengembalikan dongkrak ke bagasi menepuk-nepuk kedua telapak tangannya, lalu mencari tisu basah untuk membersihkan telapak tangannya di dalam mobil. Michael memberi isyarat pada Nia untuk kembali masuk mobil, duduk di jok depan. Setelah Michael duduk dan menutup pintunya, Ia melirik keatas melihat keadaan langitnya. Kemudian ia melirik jam tangannya. Waktu telah menunjukkan hampir jam delapan malam.   
“ kamu masih mau pergi Ni? Udah malam dan kita masih disini.”  Nia melihat keluar kemudian melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 19.49. Nia berpikir, kalau dia memaksa jalan-jalan saat itu juga pulangnya akan makin terlambat, namun kalau tidak maksa kapan lagi jalan-jalan ?. Melihat wajah Nia yang kebingungan begitu membuat Michael tersenyum. Ia menggenggam tangan kanan Nia membuat Nia tersentak kaget dari lamunannya.
“ Nia, kamu gak usah kebingungan gitu dong. Hari ini kita pulang aja, gak enak sama ayah kamu. Kan sudah malem. Kapan-kapan kita kan bisa jalan lagi,” ucap Michael berusha menenangkan Nia.
“ Ya.. tapi kamu besok pagi kan udah balik lagi ke Bali, kapan ketemu lagi,” ucap Nia bersungut-sungut.
“ Halaaa… semester depan juga ketemu lagi. Dari pada kita dimarahin bapakmu trus kita malah gak bisa ketemu sama sekali, gimana? Mana yang kamu pilih ?”
Tersentak juga Nia oleh ucapan Michael. Memang mereka bermain aman saat ini. Selalu mengikuti suasana kehidupan keluarga Nia, namun hal itu tidak pernah mengganggu Michael. Malah ia dengan senang hati beradaptasi dengan budaya keluarga Nia dan itu yang membuat Michael masih bertahan dengan Nia dibanding pria-pria lain.
Akhirnya Nia menyetujui pendapat Michael. Michael mengarahkan mobil mereka kembali ke rumah Nia. Sesampainya disana sudah ada ayah Nia sedang menonton TV berserta abangnya yang sedang mengajari adik-adiknya mengerjakan PR bahasa Inggris. Andi memang rajin mengoreksi PR adiknya, termasuk PRnya Nia.
Sesampainya dirumah Dito membukakan pintu dan berkata, “ Kak Nia, tadi dicariin ayah lho, tuh ayah nanya-nanya terus. Udah dibilang pergi sama kak Michael masih aja ditanyain.” Michael tersenyum saja mendengar laporan Dito.     
“assalamu’alaikuuuuum,” sahut Nia dan Michael hampir bersamaan. “waalaikum salaaam,” terdengar jawaban berat dari dalam. “ Oh.. ada nak Michael ya ?” kata ayah Nia, “ ayo silakan masuk, gimana kuliahnya?”  Whalaaa nanya-nanya, tadi interogasi, sungut Nia membatin. Nia langsung masuk kamarnya untuk meletakkan tasnya. Setelah ia mencuci muka, Nia kembali ke ruang tamu untuk melihat Michael. Ternyata yang dilihat sudah tidak ada di ruang tamu. Nia pun bingung, yang ada didekat situ tinggal kakaknya Andi dengan dua adiknya. Ia pun bertanya pada Andi,” Ndi! Michael mana? Udah pulang emangnya?”  “ Tuh lagi di ruang kerja sama ayah” jawab Andi dengan cueknya.
Nia segera ke ruang kerja ayahnya.  Benar Michael ada di ruang tersebut bersama ayahnya sedang membahas program komputer yang baru diketahui ayahnya dari kantor. Dengan bersungut-sungut Nia mencoba bersabar menanti Michael menyelesaikan diskusinya. Jam sembilan telah lewat, jam sepuluh telah lewat, akhirnya Nia tak tahan menahan kantuknya. Ia ke ruang kerja lagi. Michael sedang sendirian mengutak-atik komputer ayahnya. Nia pun mendekati Michael,” Mike, gue ngantuk banget. Sorry gak bisa nganterin elu pulang. Nanti kalo pulang, pulang aja ya gak usah pamit ama gue. Gue ngantuk berat nih yeh, deeeh…”  Michael pun menatap wajah Nia yang sudah menguap berkali-kali dengan tersenyum, “ iya deh non. Sorry yah hari ini jadi berantakan but I have a nice day with you, Thanks ya,”  ucap Michael sambul mengusap kepala Nia.
Nia pun tersenyum, tak berapa lama ayahnya kembali dari kamarnya sambil membawa kertas-kertas kerjaan.  Tanpa memperdulikan Nia yang masih berdiri disitu ia pun melanjutkan pembicaraannya. Nia hanya menggelengkan kepala dan beranjak pergi dari ruang kerja ke kamarnya. Huh, bokap gue – bokap gue. Udah tahu anak gadisnya cuma semata wayang, eh… temen lakinya juga diembat , tega bener, batin Nia sambil memejamkan mata.

Ditulis oleh
Shinta Dewi Wijiarti,
Jakarta, ruang kerja, 28 Juni 2005, Pk. 07.00 wib

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Super Blue Blood Moon

Tribunnews.com Berita akan terjadinya gerhana bulan hari ini (Rabu, 31 Januari 2018) sudah tersebar sejak 3-4 hari yang lalu. Teman-teman kecilku di kelas 5 Salman Al Farisi sudah sibuk membincangkannya. Aku pun yang tadinya hanya menganggap sebagai suatu fenomena alam yang biasa terjadi, lambat laun mulai tertarik untuk mengintip secuil informasi mengenai ini. Tahukah kamu kalau fenomena gerhana bulan saat ini adalah kejadian fenomena alam yang luar biasa? Kali ini bulan akan tampak lebih besar daripada biasanya, terjadi gerhana bulan penuh,  serta warnanya merah seperti darah akibat bias dengan cahaya matahari. Bulan pada saat ini benar-benar menunjukkan keelokannya. Tiada yang dapat menandingi kecantikannya ditengah temaramnya malam. "Langit boleh gelap. Namun aku akan senantiasa memberikan secercah cahaya pada kegelapan," ungkap sang Super Blue Blood Moon. 😁 Kita,  sebagai makhluk bumi yang terpisahkan jarak dan waktu dengan sang bulan hanya bisa menikmati sa

Pustakawan dan Laptop Asus Vivobook 14X OLED

Memasuki tahun ajaran baru menjadi tantangan setiap tenaga pendidik di sekolah-sekolah. Mengenalkan kembali adab-adab dalam menuntut ilmu, adab kepada guru, adab bermain, termasuk juga adab dalam menjaga lingkungan sekolah merupakan materi yang harus disampaikan pertama kali pada siswa di awal kedatangan dan sepanjang perjalanan pembelajaran. Tantangan ini tidak hanya menjadi milik tenaga pendidik saja, tapi juga tenaga kependidikan, termasuk saya, seorang pustakawan. Sebagai seorang pustakawan, terutama pustakawan sekolah dasar, ada rasa tanggung jawab untuk melatih keterampilan literasi peserta didiknya bersama para tenaga pendidik lain. Perpustakaan menjadi sarana pendukung pembelajaran di kelas. Dengan adanya Kurikulum Merdeka, perpustakaan semakin berperan penting dalam memperlancar proses pembelajaran ini. Pustakawan menyiapkan media-media yang dapat meningkatkan keterampilan literasi seluruh warga sekolah, yakni siswa, guru, kepala sekolah, juga tenaga administrasi dan tenaga pe

Review Buku Sketsa Negeri Para Anjing

  Judul: Sketsa Negeri Para Anjing Penulis: Shabrina Cetakan pertama: Rabiul Akhir 1427 H/ Mei 2006 Penyunting: Sakti Wibowo dan Nurul Hidayati Desain Cover: Arif Yunur Rivan Illustrasi Cover: Ferly Leriansyah Penerbit: Lini Zikrul Remaja (Zikrul Hakim), Jakarta Jumlah Halaman: 160 halaman, uk. 11,5 x 17,5 cm ISBN: 979-9140-34-x      Buku ini merupakan kumpulan cerpen yang sarat dengan nilai religi. Pesan religi disampaikan oleh penulis melalui kisah-kisah yang melekat dalam kehidupan sehari-hari kita. Tak luput pula penulis menyampaikan dengan plot twist yang berbeda-beda. Terkadang membuat pembaca berpikir, siapakah sosok utama dari tokoh yang diceritakan cerpen tersebut.      Diawali dengan kisah seorang ibu guru baru mendaftar ke sebuah sekolah. Namanya adalah Bu Brin. Ia diamanahi mendidik anak berkebutuhan khusus. Dengan berbekal pengalaman mengajar di sekolahnya terdahulu, ditambah dengan kesabaran dan doa yang terus menerus diucapkan, akhirnya Allah membukak